LAGI-LAGI GARA-GARA UANG

Uang membuat kita memiliki banyak pilihan. Tidak ada uang membuat kita harus membuang satu - satunya pilihan yang ada.

Saya tahu, uang bukan satu - satunya alasan peristiwa yang akan saya ceritakan ini terjadi. Dan peristiwa ini bukan peristiwa langka yang hanya saya yang mengalaminya. Orang lain juga pasti ada mengalaminya, nahkan lebih buruk. Saya hanya perlu bertahan dan tetap melanjutkan hidup. Seperti yang orang lain lakukan.

Tapi saya benar - benar marah dengan kenyataan yang harus saya dan keluarga saya alami.

Istri saya tidak bisa ikut pelatihan yang sangat Ia butuhkan untuk karirnya. Itu semua karena jadwalnya jatuh tiap weekend. Selama 4 bulan. Dari jam 10 pagi. Di Denpasar.


Itu sulit kami lakukan. Weekend adalah hari libur ibu saya mengasuh anak - anak. Saya gak bisa sendirian mengajak anak - anak main seharian. Ngasi maem, ngajak main, bobo-in mereka. Apalagi setiap saya yang nemenin mereka semua main, selalu gagal bikin mereka akur. Kalau enggak berantem, ada aja yang terpaksa dapet perhatian lebih sedikit dari yang lain. Itu karena cara main mereka yang berbeda. Si sulung harus bergerak. Lari - larian. Yang tengah minta di gendong. Sedangkan yang kecil gak bisa dilepas atau ditinggal, karena belum bisa jalan. Saya hanya bisa ngajak dua dari tiga anak saya. Sisanya musti dibantu ibu atau istri.

Andai pelatihannya online, istri bisa saja mengikutinya dari kantornya. Sehingga dia bisa sambil kerja, dan mengambil ijin di pertengahan minggu karena weekend dia sudah kerja.

Yang bikin berat istri saya adalah harus pisah dengan anaknya selama empat bulan. Waktu bersama anak yang selama ini sudah sedikit, makin sedikit. Belum lagi ibu saya, walau mungkin ibu saya tidak akan menolak, tapi akan ada momen meledak juga.

Lalu, apa hubungannya dengan uang? Intinya, jika ada yang, pilihan kami akan lebih banyak, dan bahkan istri tidak perlu membuang peluang emas ini.

Seperti halnya tadi pagi saat saya menjemput Nayaka. Di gang rumah saat dia berjalan ke gerbang rumah, dia berjalan dengan tubuh kecilnya. Berjaket merah dan helm di kepala. Sebelum benar - benar masuk gerbang, dia melihat ke saya lagi. Untung saya tidak segera pergi. Memang ingin memastikan dia benar - benar masuk rumah.


Di lambaian tangan terakhirnya dia tampak lemas dan tatapan yang sedih. Saya balas melambai, lalu dia masuk. Saya sangat sayang sama dia. Tapi juga sedih. Kasihan dia, harusnya dia dapat hal yang lebih baik. Yang lebih layak. Sekolah sekarang sudah baik, tapi harusnya bisa lebih baik. Dan ketika pulang, harusnya dia tidak perlu melihat orang tua tidak di rumah karena harus kerja. Setidaknya, harusnya ada satu yang bisa tetap di rumah untuk menemaninya.

Saya memang terlalu lemah. Tidak sekuat orang lain menghadapi kenyataan seperti ini. Dengan menuliskannya seperti ini adalah cara saya menjaga otak saya tetap "waras".

0 bukan komentar (biasa):

Post a Comment

Jangan lupa cek twitter saya @tukangcolong
Dan channel YOUTUBE saya di
SINI