NAKSIR MURID BEDA SEKOLAH SAAT FULL DAY SCHOOL


Hari ini saya udah nulis satu kali, soal kasus guru dan orang tua murid. Sekarang saya mau nulis bagian keduanya agar semua keresahan saya tertulis hari ini. Biar gak ada PR lagi, dan mumpung ada momen buat nulis.

Topiknya masih tentang pendidikan. Kali ini soal Full Day School. Terakhir pak Menteri yang baru sudah ngasi klarifikasi. Kalo itu baru ide, dilempar ke masyarakat sebagai wacana untuk melihat respon masyarakat dan jadi pertimbangan mau direalisasiin apa enggak. Pak Menteri juga bilang istilah Full Day School yang diberikan publik kurang tepat karena jam pelajaran masih normal, hanya saja jam pulang yang diperpanjang menjadi sampai jam 5 sore. Waktu tambahan itu digunakan untuk pembentukan karakter siswa, seperti melaksanakan hobby dan latihan keterampiln tambahan.

Tapi biar nyebutnya gampang dan sampai pemerintah merilis istilah yang resmi, kita tetep sebut istilahnya dengan Full Day biar gampang. Masih dari Pak Menteri, sistem ini gak akan dijalankan di seluruh Indonesia. Bakal ada kajian dulu dan melihat sekolah - sekolah mana yang cocok dengan sistem ini.

Itu sekilas pernyataan resmi dari pemerintah. Kenapa saya repot - repot ngasi tau lagi, karena isu ini sudah panas di masyarakat hanya karena kebiasaan kita baca judul beritanya doang tapi komentarnya udah kayak tau pokok masalahnya sampai yang terdalam. Denger setengah,, ngerti seperempat, tapi ngomongnya dobel. Tanpa mau cari tau lebih banyak dan dari berbagai sumber. Hari gini? Please deh.

Sekarang, di situasi apakah Full Day ini cocok diterapkan?

Jika tingkat kenakalan remaja di suatu daerah tinggi, full day cocok dilaksanain.

Jika fasilitas sekolah termasuk pengajarnya belum siap, full day gak cocok dilaksanakan.
Gara - gara fasilitas belum ada dan pengajar gak cukup, waktu yang kosong malah gak optimal.

Jika orang tua terlalu sibuk untuk menemani anak sepulang dari sekolah sehingga terjadi pembiaran dan anak jadi salah gaul, full day sudah semestinya dilakukan.

Jika jarak sekolah dengan rumah anak cukup jauh (seperti yang biasa terjadi di daerah - daerah pelosok atau perbatasan), full day belum harus dilakukan. Kalau pulangnya sore, nyampe rumah bisa - bisa besok subuh.

Jika kesejahteraan guru belum layak sehingga banyak guru yang harus ngurus ladangnya untuk tambahan, sistem full day tentu gak cocok. Begitu juga untuk siswa yang sepulang sekolah harus bantu orang tuanya bekerja, sistem full day akan membunuh perekonomian keluarga mereka.

Jika jumlah siswa yang terlibat cinta lintas sekolah, itu bakal jadi masalah yang berat, terutama untuk si murid. Dan kayaknya ini masalah terpelik yang akan dihadapi pemerintah jika memaksakan sistem full day di sekolah ini.

Disarankan untuk para siswa yang menjalankan sistem full day, mending nyari gebetan satu sekolah saja. Selain menjalani ibadah full day makin semangat, kan enak tuh makin lama bisa ketemu sama doi. Jadi LDR nya cuma pas malem doang. Makanya paling aman pacaran sama guru BP. Udah bijak, perhatian pula, gak jarang bisa jadi tukang cukur rambut gratis.


Jam kerja yang ditambah, pemerintah juga menambah gaji guru, jadi guru gak perlu terlalu cemas masalah bayaran. Buat orang tua juga masih bisa quality time bersama anak di hari sabtu dan minggu karena sabtu minggu sang anak libur, jadinya cocok dengan hampir kebanyakan jam kerja para orang tua, bukan?

Ironi di kasus ini terjadi dikala para orang tua kurang setuju dengan konsep full day, tapi selama ini anaknya selalu diikutkan les dari jam pulang sekolah sampe malem.

Yang ngajar les juga gurunya di sekolah. Lah? : ))


2 bukan komentar (biasa):

Unknown said...

Terlepas dari itu semua saya hanya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. bagaimana kisah para pejuang cinta lintas sekolah dikala Full Day Scholl benar-benar diterapkan..
Salam,,,

Aul Howler's Blog said...

Untung udah bukan siswa :/

Post a Comment

Jangan lupa cek twitter saya @tukangcolong
Dan channel YOUTUBE saya di
SINI