Yang Katanya Odalan Pura Besakih 2015


Setiap perayaan besar di pura Besakih, selalu diikuti dengan perayaan di pura Batur. Setelah sembahyang kepura pedharman bersama ibu tempo hari, saya diajak temen - temen sembahyang ke kedua pura itu.

Pura Batur terletak di desa Kalanganyar, Kintamani, Bangli. Dekat dengan danau Batur. Kami tiba disana sudah cukup malam. Hujan baru saja berhenti. Cuaca masih lembab. Tanah, bangunan, dan tanaman masih basah bekas air hujan. Suhu ketika itu membuat temen - temen cewek menggigil. Saya yang berniat baik ngasi jaket malah  kena gampar. Padahal saya cuma mau ngasi jaket dan bonus pelukat hangat. Saya mah gitu orangnya.

Mentok. Mobil - mobil gak gerak sepanjang jalan. Kendaraan mengular menunggu giliran bisa jalan menuju pura. Kalo kayak gini ceritanya sampe lebaran kuda makan besi juga ga bakal jalan. Lelah nunggu di dalem mobil tapi mobil gak jalan - jalan, kami putuskan untuk jalan kaki menuju pura. Di kejauhan kami lihat laser menembak awan. Kami duga itu pasti berasal dari lokasi puranya. Dilihat dari sumber lasernya sih, tinggal satu belokan lagi sampe.

Kami jalan kaki bersama - sama rombongan lain yang juga memutuskan hal yang sama. Jalannya menanjak. Yang cewe - cewe tampak mulai kelelahan. Wajar, karena mereka juga harus membawa dua gunung dan satu gua bersamanya. Sekali lagi saya tawarin bantuan, kena gampar lagi. Padahal kan saya mau ngebantu gendong mereka biar gak capek. Tapi gendongnya dari depan. :3

Jarak kami dengan lokasi laser pun makin dekat. Sebentar lagi kami akan sampai ke pura. Kami percepat langkah kami. Sudah tidak sabar rasanya untuk segera sembahyang. Tikungan yang saya maksud tadi akhirnya terlewati. Kami pun berbelok dan sampailah kami di... tikungan selanjutnya.

Mati.

Akhirnya kami sampai ke pura dengan nafas tinggal separuh dan getaran dengkul mencapai 967245011 skala Richter. Persembahyangan berjalan lancar meski sampai pura saya baru sadar kalau diantara ribuan umat yang datang baju saya beda sendiri. Sial saya salah kostum! Pakaian saya kayak yang biasa dipakai orang Bali ke kondangan. Safari (baju) coklat dan udeng (ikat kepala) batik. Ada satu orang yang saya lihat memakai pakaian yang sama, itu pun bapak - bapak yang sudah tua banget. Rasanya pengen pulak saat itu juga. -____-


 Selesai sembahyang kami pun balik ke mobil. Meski sama – sama jalan kaki, tapi jalan pulang terasa lebih ringan karena jalannya yang menurun. Perjalanan berlanjut menuju pura Besakih. Padahal sudah lewat jalan pintas, tapi tetep aja kami terjebak macet. Paling ngeri itu pas ngelewatin jalan nanjak. Untung temen yang ada di belakang kemudi jago nyetirnya sehingga mobil kami gak pake acara tersangkut di tanjakan. Setelah mobil di depan kami melewati tanjakan, kami tidak langsung mengikutinya, takut kalau iring – iringan mobil berhenti pas kami ada di tanjakan. Makanya, setelah cukup lenggang di atas, baru kami mulai jalan. Syukurnya mobil di belakang ngerti (kalo pun ga ngerti akan kami bentak biar mereka ngerti). Sayangnya banyak mobil yang gak tahu teknik ini. Mereka terjepak di tanjakan. Para penumpang berhamburan keluar. Ada yang panik, ada juga karena mau nyari ganjelan ban belakang biar mobil ga merosot turun.

Di pura Besakih terdapat puluhan pura lagi membentuk suatu kompleks pura – pura. Gak semua pura utama bisa kami kunjungi ketika itu. Kami hanya sembahyang di pura dadia masing – masing (selain ke pura dadia ayah, saya juga sempat sembahyang ke pura dadia ibu), pura merah (saya lupa nama aslinya, pokoknya pura itu kental dengan warna merah dan nuansa budha), dan Penataran Agung. Pura Goa Gajah, pura Puseh Pusat, dan pura Gelap kali ini kami skip. Di pura dadi ayah saya sekarang sudah ada silsilah asal usul garis keturunan kami. Saya jadi tahu siapa yang masuk klan/ marga kami dan siapa pemimpin di keturunan terakhir yang masih hidup.

Di masing – masing pura di Besakih ada megafon sendiri-sendiri. Pemandu ngasi instruksi ke umat lewat pengeras suara ini. Yang kasihan itu yang letaknya dekat dengan Penataran Agung (pura pusat di Besakih) karena suara megafonnya akan kalah dengan suara pengeras dari Penataran Agung. Salah satu pura yang dekat dengan Penataran Agung adalah pura dadia ibu saya, Dadia Pasek. Saya dan umat lain yang datang ketika itu heran karena pendeta belum selesai berdoa tapi pemandu sudah ngasi perintah lewat pengeras kepada umat untuk mulai sembahyang. Langsung saja kami semua mulai sembahyang. Selesai sembahyang, muncul suara lagi dari pengeras, kali ini suara pemandunya berbeda. Dia bilang,”Jangan dulu sembahyang, pendeta belum selesai berdoa”.

Lah, rupanya tadi kami menuruti instruksi pemandu dari Penataran Agung. =))

Saya diblur T_T


2 bukan komentar (biasa):

Aul Howler's Blog said...

Foto pura nya dong bliii

Obat Herbal Keloid said...

syukur deh mobilnya engga tersangkut di tanjakan

Post a Comment

Jangan lupa cek twitter saya @tukangcolong
Dan channel YOUTUBE saya di
SINI