Setiap perayaan besar di pura
Besakih, selalu diikuti dengan perayaan di pura Batur. Setelah sembahyang kepura pedharman bersama ibu tempo hari, saya diajak temen - temen sembahyang ke
kedua pura itu.
Pura Batur terletak di desa
Kalanganyar, Kintamani, Bangli. Dekat dengan danau Batur. Kami tiba disana
sudah cukup malam. Hujan baru saja berhenti. Cuaca masih lembab. Tanah,
bangunan, dan tanaman masih basah bekas air hujan. Suhu ketika itu membuat temen
- temen cewek menggigil. Saya yang berniat baik ngasi jaket malah kena gampar. Padahal saya cuma mau ngasi jaket
dan bonus pelukat hangat. Saya mah gitu orangnya.
Mentok. Mobil - mobil gak gerak
sepanjang jalan. Kendaraan mengular menunggu giliran bisa jalan menuju pura. Kalo
kayak gini ceritanya sampe lebaran kuda makan besi juga ga bakal jalan. Lelah
nunggu di dalem mobil tapi mobil gak jalan - jalan, kami putuskan untuk jalan
kaki menuju pura. Di kejauhan kami lihat laser menembak awan. Kami duga itu pasti
berasal dari lokasi puranya. Dilihat dari sumber lasernya sih, tinggal satu
belokan lagi sampe.
Kami jalan kaki bersama - sama rombongan
lain yang juga memutuskan hal yang sama. Jalannya menanjak. Yang cewe - cewe
tampak mulai kelelahan. Wajar, karena mereka juga harus membawa dua gunung dan
satu gua bersamanya. Sekali lagi saya tawarin bantuan, kena gampar lagi.
Padahal kan saya mau ngebantu gendong mereka biar gak capek. Tapi gendongnya
dari depan. :3
Jarak kami dengan lokasi laser pun
makin dekat. Sebentar lagi kami akan sampai ke pura. Kami percepat langkah kami.
Sudah tidak sabar rasanya untuk segera sembahyang. Tikungan yang saya maksud
tadi akhirnya terlewati. Kami pun berbelok dan sampailah kami di... tikungan
selanjutnya.
Mati.
Akhirnya kami sampai ke pura dengan
nafas tinggal separuh dan getaran dengkul mencapai 967245011 skala Richter.
Persembahyangan berjalan lancar meski sampai pura saya baru sadar kalau diantara ribuan umat yang datang baju saya beda sendiri. Sial saya salah kostum! Pakaian saya kayak yang biasa dipakai orang Bali ke kondangan. Safari (baju) coklat dan udeng (ikat kepala) batik. Ada satu orang yang saya lihat memakai pakaian yang sama, itu pun bapak - bapak yang sudah tua banget. Rasanya pengen pulak saat itu juga. -____-
Selesai sembahyang kami pun balik ke mobil. Meski sama – sama
jalan kaki, tapi jalan pulang terasa lebih ringan karena jalannya yang menurun.
Perjalanan berlanjut menuju pura Besakih. Padahal sudah lewat jalan pintas,
tapi tetep aja kami terjebak macet. Paling ngeri itu pas ngelewatin jalan
nanjak. Untung temen yang ada di belakang kemudi jago nyetirnya sehingga mobil kami
gak pake acara tersangkut di tanjakan. Setelah mobil di depan kami melewati
tanjakan, kami tidak langsung mengikutinya, takut kalau iring – iringan mobil
berhenti pas kami ada di tanjakan. Makanya, setelah cukup lenggang di atas,
baru kami mulai jalan. Syukurnya mobil di belakang ngerti (kalo pun ga ngerti
akan kami bentak biar mereka ngerti). Sayangnya banyak mobil yang gak tahu
teknik ini. Mereka terjepak di tanjakan. Para penumpang berhamburan keluar. Ada
yang panik, ada juga karena mau nyari ganjelan ban belakang biar mobil ga
merosot turun.
Di pura Besakih terdapat puluhan pura
lagi membentuk suatu kompleks pura – pura. Gak semua pura utama bisa kami
kunjungi ketika itu. Kami hanya sembahyang di pura dadia masing – masing
(selain ke pura dadia ayah, saya juga sempat sembahyang ke pura dadia ibu),
pura merah (saya lupa nama aslinya, pokoknya pura itu kental dengan warna merah
dan nuansa budha), dan Penataran Agung. Pura Goa Gajah, pura Puseh Pusat, dan
pura Gelap kali ini kami skip. Di pura dadi ayah saya sekarang sudah ada
silsilah asal usul garis keturunan kami. Saya jadi tahu siapa yang masuk klan/ marga kami
dan siapa pemimpin di keturunan terakhir yang masih hidup.
Di masing – masing pura di Besakih
ada megafon sendiri-sendiri. Pemandu ngasi instruksi ke umat lewat pengeras suara
ini. Yang kasihan itu yang letaknya dekat dengan Penataran Agung (pura pusat di
Besakih) karena suara megafonnya akan kalah dengan suara pengeras dari
Penataran Agung. Salah satu pura yang dekat dengan Penataran Agung adalah pura
dadia ibu saya, Dadia Pasek. Saya dan umat lain yang datang ketika itu heran
karena pendeta belum selesai berdoa tapi pemandu sudah ngasi perintah lewat
pengeras kepada umat untuk mulai sembahyang. Langsung saja kami semua mulai
sembahyang. Selesai sembahyang, muncul suara lagi dari pengeras, kali ini suara
pemandunya berbeda. Dia bilang,”Jangan dulu sembahyang, pendeta belum selesai
berdoa”.
Lah, rupanya tadi kami menuruti
instruksi pemandu dari Penataran Agung. =))
![]() |
Saya diblur T_T |
2 bukan komentar (biasa):
Foto pura nya dong bliii
syukur deh mobilnya engga tersangkut di tanjakan
Post a Comment
Jangan lupa cek twitter saya @tukangcolong
Dan channel YOUTUBE saya di SINI