Untuk Anak - Anakku, Tentang Nenek Kalian

Hutang pada orang tua tidak akan bisa lunas. Waktu, tenaga, uang, tidak akan cukup. Tidak akan sempat. Tapi saya punya mimpi, suatu saat ini bisa mulai mengubah keadaan, dari terus menerus memberi beban menjadi mulai membayar sedikit demi sedikit.

Saat ini saya masih merepotkan. Dibalik tubuhnya yang kurus dan kian mengecil, tersimpan kesabaran dan kekuatan mengasuh tiga cucunya, yang saya dan istri tinggal kerja dari pagi hingga sore.

Saya tak pernah menanyakan bagaimana caranya Ia mau makan, kencing, apalagi buang air besar. Apalagi bila ada tamu ke rumah yang jumlahnya tak jarang. Saya gak siap dengar jawabannya. Hati saya gak siap mendengar penderitaan yang pasti dialami ibu.

Si sulung dan si tengah yang terus berkelahi berebut mainan. Mainan ada banyak, tapi belum menarik kalo belum dipegang saudaranya. Setelah saudaranya melepas mainan itu, yang lain pun ikut hilang hasrat untuk memainkannya. Jadinya, mainan yang tadi diperebutkan, jadi terabaikan.


Bila sudah berkelahi, pasti ada tangisan. Lalu minta digendong. Gak cuma satu, tapi keduanya minta digendong. Cucu - cucu yang sudah besar, dan ada si kecil yang belum bisa duduk, adalah cara terkejam seorang anak (yaitu saya) menyiksa ibu kandungnya.

Ibu masih sering marah - marah. Wajar. Lelah, keadaan ekonomi, stres akan hal lain, membuat bicarabnya jadi kemana - mana. Kadang, apa yang Ia keluhkan dari sifat orang lain, dia sendiri juga melakukannya.

Tapi saya hanya bisa menahan diri. Hanya bisa bersabar. Hanya itu cara yang bisa saya lakukan sekarang. Bagaimanapun, saya masih banyak berhutang kepadanya. Tumbuh kembang anak - anak yang bisa hidup sehat sampai sekarang, sebagian besar adalah berkat penjagaan neneknya.

Kondisi ekonomi kami jauh dari kata baik. Tapi syukurnya cukup. Bukan berkat saya, berkat istri yang bisa meng-cover semuanya.

0 bukan komentar (biasa):

Post a Comment

Jangan lupa cek twitter saya @tukangcolong
Dan channel YOUTUBE saya di
SINI